Pada awalnya sepak bola mempergunakan sistem penilaian 2 poin untuk setiap kemenangan, 1 poin untuk hasil imbang dan 0 bila kalah.
Hingga kemudian pada tahun 1981 Liga Inggris memperkenalkan sistem 3 poin untuk setiap kemenangan atas usulan James William Thomas Hill. Tidak banyak negara lain yang tertarik untuk menggunakan sistem ini, sampai FIFA mempergunakannya pada putaran final Piala Dunia 1994. Pada tahun 1995, FIFA secara resmi mengadopsi sistem ini, dan kemudian menjadi standar dalam turnamen internasional, serta liga sepak bola nasional.
Sistem tiga poin untuk setiap kemenangan dipergunakan untuk mendorong permainan lebih agresif mengingat sejak tahun 1980-an strategi defensif menjadi sangat populer. Diharapkan dengan sistem tiga poin maka jika pertandingan masih imbang hingga memasuki menit-menit terakhir, setiap tim tidak akan puas dengan hasil seri jika bisa mendapatkan dua poin tambahan. Alasan lainnya adalah untuk mencegah kolusi antara tim yang hanya membutuhkan hasil seri. Beberapa komentator setuju bahwa sistem ini telah menghasilkan permainan yang lebih agresif, Namun, kritikus menilai dengan sistem ini maka tim yang unggul satu gol saja akan segera bermain defensif.
Contoh perbedaan klasemen saat mempergunakan sistem dua poin dengan sistem tiga poin bisa dilihat di penyisihan Grup D Piala Dunia 1998.
Sistem dua poin
Sistem tiga poin
Keterangan :
Dengan sistem lama Paraguay dan Nigeria sama-sama mengumpulkan empat poin, dengan keunggulan selisih gol maka Paraguay berada diposisi pertama. Namun karena yang digunakan adalah sistem baru maka Nigeria-lah yang menjadi juara grup.
Contoh kedua bisa dilihat pada penyisihan Grup F Piala Dunia 2010 :
Sistem dua poin
Sistem tiga poin
Keterangan :
Dengan sistem lama, Selandia Baru menjadi runner up grup karena mendapat poin yang sama dengan Slovakia namun unggul dalam hal selisih gol, namun dengan sistem baru Slovakia unggul satu poin dari Selandia Baru.
Penggunaan di berbagai negara:
*. 1981 : Inggris
*. 1982 : Israel
*. 1983 : Selandia Baru
*. 1987 : Turki
*. 1988 : Norwegia
*. 1990 : Swedia
*. 1992 : Yunani Finlandia
*. 1993 : Belgia (Div. 2), Bulgaria, Irlandia, Italia (Serie C)
*. 1994 : Kroasia, Rep. Ceko , Perancis ( pernah juga dipergunakan di musim 1988 - 89 ), Hungaria, Italia (Serie A) , Rumania, Skotlandia
*. 1995 : Argentina , Austria, Belgia (Div. 1) , Brasil, Kolombia, Denmark , Jerman, Meksiko, Belanda, Polandia, Portugal, Russia, Spanyol, Swiss, Uruguay
*. 2000 : Amerika Serikat
Variasi sistem tiga poin
Di Indonesia, Galatama musim 1986-1987 sempat mempergunakan sistem tiga poin untuk setiap kemenangan, 2 poin untuk imbang pada pertandingan tandang, 1 poin untuk imbang di kandang, dan 0 bila kalah. Namun di musim berikutnya sistem dua poin kembali dipergunakan. Sistem tiga poin baru dipergunakan kembali saat Liga Indonesia I diluncurkan tahun 1994-1995.
Beberapa liga menggunakan adu penalti sebagai penentu pemenang jika pertandingan berakhir imbang. Major League Soccer ( 1996 - 2000 ) di Amerika Serikat, memberikan tiga poin untuk setiap kemenangan, 1 poin untuk menang adu penalti, dan 0 poin untuk kalah baik adu penalti ataupun saat waktu normal.
Di Norwegia ( 1987 ) 3 poin diberikan untuk setiap kemenangan, 2 poin untuk kemenangan adu penalti, 1 poin untuk kalah adu penalti dan 0 untuk kalah. Sistem yang hampir sama juga pernah digunakan di Liga Jepang.
Hingga kemudian pada tahun 1981 Liga Inggris memperkenalkan sistem 3 poin untuk setiap kemenangan atas usulan James William Thomas Hill. Tidak banyak negara lain yang tertarik untuk menggunakan sistem ini, sampai FIFA mempergunakannya pada putaran final Piala Dunia 1994. Pada tahun 1995, FIFA secara resmi mengadopsi sistem ini, dan kemudian menjadi standar dalam turnamen internasional, serta liga sepak bola nasional.
Sistem tiga poin untuk setiap kemenangan dipergunakan untuk mendorong permainan lebih agresif mengingat sejak tahun 1980-an strategi defensif menjadi sangat populer. Diharapkan dengan sistem tiga poin maka jika pertandingan masih imbang hingga memasuki menit-menit terakhir, setiap tim tidak akan puas dengan hasil seri jika bisa mendapatkan dua poin tambahan. Alasan lainnya adalah untuk mencegah kolusi antara tim yang hanya membutuhkan hasil seri. Beberapa komentator setuju bahwa sistem ini telah menghasilkan permainan yang lebih agresif, Namun, kritikus menilai dengan sistem ini maka tim yang unggul satu gol saja akan segera bermain defensif.
Contoh perbedaan klasemen saat mempergunakan sistem dua poin dengan sistem tiga poin bisa dilihat di penyisihan Grup D Piala Dunia 1998.
Sistem dua poin
Tim
|
Pld
|
W
|
D
|
L
|
GF
|
GA
|
GD
|
Pts
|
---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Paraguay
|
3
|
1
|
2
|
0
|
3
|
1
|
2
|
4
|
Nigeria
|
3
|
2
|
0
|
1
|
5
|
5
|
0
|
4
|
Spanyol
|
3
|
1
|
1
|
1
|
8
|
4
|
4
|
3
|
Bulgaria
|
3
|
0
|
1
|
2
|
1
|
7
|
-6
|
1
|
Sistem tiga poin
Tim
|
Pld
|
W
|
D
|
L
|
GF
|
GA
|
GD
|
Pts
|
---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Nigeria
|
3
|
2
|
0
|
1
|
5
|
5
|
0
|
6
|
Paraguay
|
3
|
1
|
2
|
0
|
3
|
1
|
2
|
5
|
Spanyol
|
3
|
1
|
1
|
1
|
8
|
4
|
4
|
4
|
Bulgaria
|
3
|
0
|
1
|
2
|
1
|
7
|
-6
|
1
|
Keterangan :
Dengan sistem lama Paraguay dan Nigeria sama-sama mengumpulkan empat poin, dengan keunggulan selisih gol maka Paraguay berada diposisi pertama. Namun karena yang digunakan adalah sistem baru maka Nigeria-lah yang menjadi juara grup.
Contoh kedua bisa dilihat pada penyisihan Grup F Piala Dunia 2010 :
Sistem dua poin
Tim
|
Pld
|
W
|
D
|
L
|
GF
|
GA
|
GD
|
Pts
|
---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Paraguay
|
3
|
1
|
2
|
0
|
3
|
1
|
2
|
4
|
Selandia Baru
|
3
|
0
|
3
|
0
|
2
|
2
|
0
|
3
|
Slovakia
|
3
|
1
|
1
|
1
|
4
|
5
|
-1
|
3
|
Italia
|
3
|
0
|
2
|
1
|
4
|
5
|
-1
|
2
|
Sistem tiga poin
Tim
|
Pld
|
W
|
D
|
L
|
GF
|
GA
|
GD
|
Pts
|
---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Paraguay
|
3
|
1
|
2
|
0
|
3
|
1
|
2
|
5
|
Slovakia
|
3
|
1
|
1
|
1
|
4
|
5
|
-1
|
4
|
Selandia Baru
|
3
|
0
|
3
|
0
|
2
|
2
|
0
|
3
|
Italia
|
3
|
0
|
2
|
1
|
4
|
5
|
-1
|
2
|
Keterangan :
Dengan sistem lama, Selandia Baru menjadi runner up grup karena mendapat poin yang sama dengan Slovakia namun unggul dalam hal selisih gol, namun dengan sistem baru Slovakia unggul satu poin dari Selandia Baru.
Penggunaan di berbagai negara:
*. 1981 : Inggris
*. 1982 : Israel
*. 1983 : Selandia Baru
*. 1987 : Turki
*. 1988 : Norwegia
*. 1990 : Swedia
*. 1992 : Yunani Finlandia
*. 1993 : Belgia (Div. 2), Bulgaria, Irlandia, Italia (Serie C)
*. 1994 : Kroasia, Rep. Ceko , Perancis ( pernah juga dipergunakan di musim 1988 - 89 ), Hungaria, Italia (Serie A) , Rumania, Skotlandia
*. 1995 : Argentina , Austria, Belgia (Div. 1) , Brasil, Kolombia, Denmark , Jerman, Meksiko, Belanda, Polandia, Portugal, Russia, Spanyol, Swiss, Uruguay
*. 2000 : Amerika Serikat
Variasi sistem tiga poin
Di Indonesia, Galatama musim 1986-1987 sempat mempergunakan sistem tiga poin untuk setiap kemenangan, 2 poin untuk imbang pada pertandingan tandang, 1 poin untuk imbang di kandang, dan 0 bila kalah. Namun di musim berikutnya sistem dua poin kembali dipergunakan. Sistem tiga poin baru dipergunakan kembali saat Liga Indonesia I diluncurkan tahun 1994-1995.
Beberapa liga menggunakan adu penalti sebagai penentu pemenang jika pertandingan berakhir imbang. Major League Soccer ( 1996 - 2000 ) di Amerika Serikat, memberikan tiga poin untuk setiap kemenangan, 1 poin untuk menang adu penalti, dan 0 poin untuk kalah baik adu penalti ataupun saat waktu normal.
Di Norwegia ( 1987 ) 3 poin diberikan untuk setiap kemenangan, 2 poin untuk kemenangan adu penalti, 1 poin untuk kalah adu penalti dan 0 untuk kalah. Sistem yang hampir sama juga pernah digunakan di Liga Jepang.
Komentar
Posting Komentar